Jumat, 04 Mei 2012

Peranan Pesantren, Kyai, dan Tarekat Di Banten

BAB I
PENDAHULUAN



A Latar Belakang Masalah

            Wacana keagamaan islam di Indonesia diwarnai oleh peran besar pesantren dan para ulama[1]. Dalam kaitan ini penelusuran asal – usul pesantren merupakan bahasan pokok yang perlu di kaji. Pasalnya meskipun para peneliti seperti Karel  Steebrink, Glifford Geerts, dan lainnya sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli Indonesia, namun mereka ternyata mempunyai pandangan yang berbeda mengenai lahirnya pesantren tersebut. Karena perbedaan pandangan tersebutlah setidaknya dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa pesantren adalah hasil kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami persentuhan budaya pra – islam. Dalam kelompok ini diantaranya adalah Nurcholis Madjid dalam Bilik – bilik pesantren, Zamakhsyari Dhofier dalam tradisi pesantren: studi tentang pandangan  Kyai. Kedua, kelompok yang berpendapat bahwa pesantren di adopsi dari lembaga pendidikan Islam Timur tengah. Dalam kelompok ini adalah Marti van Bruinessen, salah seorang sarjana Barat.[2] Pada awal abad ke – 20 ini dapatlah dikatakan bahwa sejarah islam di Indonesia identik dengan sejarah pesantren dan para kiai / ulama, baik sistem pendidikan, metode yang digunakan oleh para ulama/ kiai biasanya yaitu dengan cara dakwah, atau pun seperti strategi perjuangan lainnya dalam mengahadapi segala tantangan.[3] Hal ini bisa dilihat bagaimana kondisi bangsa Indonesia pada masa pra islam. Khususnya yaitu di daerah Banten, pada masa kesultanan Banten (1552 - 1570) dalam Babad Banten diceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya Hasanuddin yang berasal dari Pakungwati (Cirebon) datang untuk mengislamkan masyarakat di daerah Banten. Hasanuddin berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain.[4]
            Secara historis, lembaga pesantren telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Menurut Nurcholis Madjid bahwasanya pesantren tidak hanya identik dengan keislamannya saja, melainkan juga mengandung makna keaslian Indonesia, karena menurutnya lembaga pesantren ini sudah ada semenjak masa kekuasan Hindu – Budha. Sehingga hal yang tepat apabila para ulama/ kiai pada masa lampau menggunakan metode dakwah melalui saluran pendidikan. Bukan dengan jalan perang sehingga proses islamisasi pun berjalan dengan lancar tanpa ada kekuatan militer meskipun harus dibayar dengan toleransi dan kompromi yang tinggi.
Eksistensi dalam sebuah pesantren tentunya tidak dapat terlepas dari apa yang kita sebut dengan kiai. Kiai merupakan tokoh sentral yang apabila kita soroti sebuah pesantren selalu saja dilihat dan ditelaah dari perspektif kiai. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa kiai bukanlah satu – satunya elemen yang ada dalam sebuah pesantren. Sehingga dalam pembahasan inipun tentunya tidak akan terlepas dari kiai. Karena pesantren tidak akan ada tanpa adanya kiai.[5]
            Dalam sebuah pesantren selain adanya elemen kiai juga terdapat elemen lain yaitu sebuah tarekat. Apakah yang di maksud dengan tarekat? kata Tarekat sebenarnya bukanlah hal yang asing untuk di dengar, karena dalam kehidupan sehari – hari pun tentunya kita pernah mendengar kata tarekat. kata tarekat berasal dari bahasa arab “al - thariq” yang berarti jalan yang ditempuh dengan jalan kaki. Sedangkan menurut istilah tasawuf, tarekat ialah perjalanan khusus bagi para sufi yang menempuh jalan menuju Allah Swt. Namun meskipun banyak variasi tentang kata tarekat, tujuannya tetap satu yaitu suatu tujuan moral yang mulia. Pada dasarnya antara tarekat satu dengan tarekat lainnya itu tidak ada perbedaan yang terlalu mencolok. Dapat dikatakan perbedaannya hanya terletak pada jenis wirid dan zikir serta tata cara pelaksanaanya. Atau seperti yang di ungkapkan oleh Taufiq Al- Thawil, bahwanya wiridlah yang menentukan karakteristik setiap tarekat. pertumbuhan tarekat meskipun telah di mulai pada abad ke -3 dan ke -4 H. Seperti Al – Malamatiyah yang didirikan oleh Hamdun Al – Qashar, namun tarekat tersebut pada umumnya masih dalam bentuk yang amat sederhana. Perkembangan dan kemajuan tarekat justru terjadi pada abad ke – 6 dan ke – 7 H, dan yang pertama kali mendirikan tarekat pada abad tersebut adalah Syekh Abdul Qadir Al – Jailani yakni pada awal abad ke -6 H yang kemudian disusul dengan tarekat – tarekat lainnya hingga sekarang.[6]
            Selanjutnya mengenai banyaknya jumlah pengikut tarekat terjadi sekitar pada abad ke -18 dan ke -19 Masehi. Pusat penting yang mempengaruhi perkembangan tarekat di Indonesia mula - mula adalah India (Gujarat) yakni Hamzah Fansuri, Syamsuddin al - Sumatrani dan Nuruddin al - Raniri yang belajar hingga mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah. Sufi pertama Indonesia yang karangannya tentang tarekat sampai kepada kita sekarang adalah Hamzah Fansuri. Dalam bidang sufi ia mengungkapkan gagasan – gagasan melalui syair, bercorak wahdat al – wujud. Dalam syairnya ia juga bercerita tentang kunjungannya ke Mekkah, Qudus, Baghdad (dimana ia mengunjungi maqam Abd. Al – Qadir al - Jailani) dan Ayuthia. Di tempat inilah ia menerima ijazah, dan di bait lainnya ia juga menyebutkan bahwa ia telah menerima ijazah di Baghdad. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Hamzah (wafat sekitar 1607) adalah orang Indonesia asli pertama yang menganut tarekat Qadiriyah. Di Jawa juga terdapat pengaruh tarekat Qadiriyah. Terutama di Cirebon dan Banten. Terdapat sumber cerita dari rakyat setempat, bahwa Syekh Abd. al – Qadir al – Jailani pernah datang ke jawa bahkan mereka masih dapat menunjukkan kuburannya. Adapun petunjuk lain tentang pengaruh Qadiriyah di Banten yaitu pembacaan kitab Manaqib Abd. Al – Qadir  yang dilakukan pada kesempatan tertentu dalam kehidupan beragama di masyarakat.[7]
Dalam sebuah organisasi tarekat terdapat sejumlah komponen yang meliputi : a) Guru tarekat. Dalam sebuah tarekat sufi terdapat seorang guru tarekat atau yang di sebut dengan Syaikh atau mursyid yang tentunya memiliki peranan penting dan mutlak. Dapat dikatakan bahwa jika para ulama sebagai pewaris nabi dalam hal mengajarkan ilmu lahir maka para mursyid tarekat menjadi pewaris nabi dalam hal mengajarkan penghayatan keagamaan yang bersifat bathin. Jika di lihat silsilah tarekat maka terlihatlah posisi nabi berada pada puncaknya setelah Allah dan Jibril. b) Murid atau salik tarekat. Dalam sebuah organisasi tarekat seorang kandidat salik diisyaratkan harus berjanji dihadapan mursyidnya. Janji setia itu yang kemudian dikenal dengan baiat. Dalam kehudupan tarekat ini dikenal dua jenis baiat yaitu bay’ah shwariyah dan bay’ah manawiyah. c) Amalan atau wirid tarekat. Salah satu amalan utama yang menjadi inti wirid tarekat ialah zikir. Semua kelompok tarekat mengajarkan zikir. d) Zawiyah tarekat. Zawiyah adalah majlis tempat para salik mengamalkan suluk, zikir, dan berbagai wirid lainnya. Seperti membaca manaqib syaikh abdul Qadir al – Jailani. e) adab atau etika salik dengan syaikh tarekat. seorang salik dihadapan gurunya hendaklah bersikap bagaikan mayat yang berada di tangan orang yang memandikannya.[8]
            Mencermati realitas pesantren dewasa ini, ternyata tidak hanya menawarkan pendidikan agama saja tetapi juga menawarkan pendidikan – pendidikan lain yang sifatnya lebih modernis. Bisa kita lihat bagaimana perkembangan dunia pesantren saat ini. Yaitu telah adanya apa yang disebut dengan pesantren modern. Hal ini menunjukan bahwa pesantren saat ini telah mengalami modifikasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi menjadi pendidikan pinggiran ( marginal) yang mempunyai lebel “pusat kekolotan”, yang lebih berindikasi pada sarung dan peci. Dengan melihat realitas seperti itu maka Dhofier mengklasifikasikan pendidikan pesantren menjadi dua kelompok utama yaitu pesantren salafi dan khalafi. Dengan demikian pesantren tidak hanya merupakan lembaga pendidikan yang berlabel ilmu agama belaka, tetapi sudah mengadopsi dan mengembangkan ilmu – ilmu lain. Maka dari itu pesantren sudah tidak layak lagi disebut sebagai lembaga pendidikan yang berada di posisi marginal.[9]
            Lembaga pendidikan islam atau yang lebih di kenal dengan pesantren tentunya sudah melekat di kehidupan masyarakat sosial. Hampir di setiap daerah terdapat sebuah pesantren seperti yang kita ketahui misalnya pesantren salafi. Dalam pesantren itu tentunya terdapat serangkaian kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh kiai dan para santrinya. Apa dan bagaimanakah kehidupan dalam pesantren itu? Untuk  itu pada pembahasan ini penulis ingin membahas tentang bagaimana peranan pesantren, kiai, dan tarekat di Banten.














B. Perumusan Masalah
            1. Jelaskan bagaimanakah peranan pesantren  di Banten?
            2. Bagaimanakah hubungan antara kyai dan pesantren?
            3. Bagaimanakah hubungan  antara pesantren, kyai, dan tarekat?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui tentang peranan pesantren khususnya yang berkembang di Banten.
            2. Untuk mengetahui peranan Kyai dalam sebuah pesantren.
            3. Untuk mengetahui keterkaitan antara pesantren, kyai, dan tarekat.

D.  Kerangka Pemikiran
            Pesantren merupakan lembaga pendidikan dan penyiar islam yang tertua di Indonesia.[10] Hampir di setiap daerah terdapat sebuah pesantren. Dhofier membagi dua kelompok sistem pendidikaan  pesantren. Pertama pesantren salafi, yaitu pesantren yang mengutamakan pengajaran kitab – kitab klasik ( kitab kuning) dan tidak mengajarkan ilmu – ilmu umum dengan menggunakan sistem khasnya yakni sorogan (individual) dan bandongan (kolektif). Kedua pesantren khalafi  yaitu pesantren yang mengajarkan ilmu – ilmu agama disamping pengajaran ilmu umum, seperti SMP, SMU, dan Universitas. Tetapi meskipun  demikian , pengajaran kitab – kitab klasik ( kitab kuning) tetap dipertahankan.[11]
             Pada umumnya dalam sebuah pesantren khususnya pesantren tradisional terdapat lima elemen yaitu : a) Kyai, menurut Dhofier kata kyai dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda. Pertama sebagai gelar untuk kehormatan pada barang – barang yang di anggap sakti dan kramat. Kedua, sebagai gelar kehormatan bagi orang – orang tua pada umumnya. Ketiga, sebagai gelar yang diberikan oleh masyarakat pada seorang ahli agama islam yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren. b) Pondok  (tempat tinggal para santri) merupakan ciri khas tradisi pesantren. c) Masjid, menurut M. Quraish Shihab adalah tempat aktifitas manusia yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah Swt. d) Santri, yaitu murid yang belajar di pesantren. Pada umumnya santri terbagi menjadi dua kategori pertama, santri mukim yaitu murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di pesantren. kedua, santri kalong yaitu para siswa yang berasal dari desa – desa di sekitar pesantren. mereka bolak – balik (ngalajo) dari rumahnya sendiri. e) pengajaran kitab kuning yaitu kitab – kitab klasik dan pengajaran kitab gundul yaitu kitab kuning yang berbahasa arab tanpa harakat.[12]
            Selain lima elemen diatas pada sebuah pesantren juga tentunya tidak terlepas dari sebuah tarekat yang merupakan tradisi pesantren. Melembaganya sebuah pesantren tidak  dapat dipisahkan dari kegiatan tarekat.[13] Tarekat berarti jalan sebagai makna pokok. Sedangkan menurut istilah mengandung arti jalan menuju Allah guna mendapatkan ridha- Nya dengan cara menaati ajaran-Nya. Pada mulanya tarekat hanya berupa jalan tapi pada tahap kini tarekat dimaknai sebagai organisasi sejumlah orang yang berusaha mengikuti kehidupan tasawuf. Akibatnya di dunia islam di kenal beberapa tarekat besar seperti tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah,.[14]
            Tarekat Qadiriyah, adalah tarekat yang dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qadir al - Jailani (dari Gilan, di Kurdistan Selatan, 150 km sebelah timur laut kota Baghdad) yang kemudian wafat di Baghdad pada tahun 1156 M. Beliau dikenal sebagai qutb al auliya’ ( kutub para wali) yang menduduki  tingkat kewalian yang tertinggi. Beliau adalah wali terbesar yang diberi wewenang untuk menolong umat manusia yang dalam bahaya, dakagumi dan dicintai rakyat. Di mana – mana orang membaca Manaqib (riwayat hidup) Syekh Abdul Qadir Jailani. Tarekat Naqsyabandiyah adalah tarekat yang di ambil dari nama Bahaudin al Bukhara An Naqsyabandi, lahir di Bukhara pada tahun 1317 M. wafat tahun 1389 M. Gelar An Naqsyabandi yang berarti pelukis [15].
Namun selaju dengan perkembangan zaman kini telah muncul aliran tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang merupakan gabungan dari tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah. Tarekat tersebut di anggap sebagai tarekat baru yang berbeda dengan kedua tarekat yang merupakan dasarnya.[16]. Dalam sebuah tarekat terdapat beberapa komponen yaitu mursyid (guru), salik ( murid ), wirid ( amalan), zawiyah ( majlis) dan adab ( etika ). Dasar – dasar pemikiran diatas cukup untuk dijadikan acuan dalam studi ini sehingga dapat mendeskripsikan tentang peranan pesantren, kyai, dan tarekat di Banten.

E. Metodologi  Penelitian
       Tujuan  studi adalah untuk mencapai penulisan sejarah ( historiografi), maka upaya merekontruksi masa lampau dari objek yang diteliti, itu ditempuh melalui metode sejarah. Adapun langkah pertama dari metode sejarah ini yaitu ( Heuristik) dengan cara mengumpulkan suatu data  atau sumber dengan menggunakan bahan dokumen, baik sumber –sumber tertulis maupun wawancara. Namun pada penulisan ini penulis mengalami kesulitan dalam menemukan sumber – sumber primer tetapi setidaknya penulis mendapatkan sumber yang cukup valid. Seperti dalam buku karangan Abudin Nata yang berjudul Akhlak tasawuf dan Sejarah pertumbuhan dan perkembangan lembaga – lembaga pendidikan islam di Indonesia. Ahmad Mansyur Suryanegara yang berjudul Menemukan sejarah wacana Pergerakan islam di Indonesia. Amin Haedari dkk dalam bukunya yang berjudul Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global. Hanun Asrahah, dkk. yang berjudul  Pesantren di Jawa.
            Langkah kedua yaitu kritik, peneliti melakukan pengujian atas keaslian dan kesahihan data yang diperoleh melalui kritik intern dan ekstern. Sehingga peneliti dalam melakukan pengujian memperoleh data yang valid yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
            Langkah selanjutunya yaitu interpretasi dimana peneliti harus malakukan penafsiran data – data  berupa fakta – fakta yang telah terkumpul. Langkah yang terakhir adalah historiografi yang merupakan penulisan sejarah peneliti mulai melakukan penulisan hasil penelitiannya dengan selalu memperhatikan aspek – aspek kronologis, sedangkan penyajiannya dilakukan berdasarkan tema – tema dari setiap perkembangan dari objek tersebut.

F. Sistematika Penulisan
Penyajian penelitian dalam bentuk proposal penelitian ini memiliki tiga bagian yaitu pengantar, hasil penelitian, dan kesimpulan. Adapun bagian pertama merupakan bab pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan sistematika penelitian.
Bagian kedua hasil penelitian disajikan dalam empat bab yang merupakan  satu kesatuan yang  memiliki keterkaitan antara bab satu dengan bab berikutnya.  Pada bab kedua pembahasannya mencakup pesantren dalam lintasan sejarah, metodologi pendidikan di pesantren, dan eksistensi pesantren. Bab ketiga pembasannya mencakup profil kyai dan peranannya di pesantren dan Masyarakat. Selanjutnya bab keempat pembahasannya mencakup Pengaruh Tarekat di Pesantren, Kyai dan Tarekat, dan aliran – aliran tarekat yang berkembang di Banten. Sedangkan bab kelima adalah penutup.




[1] Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga – Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Grasindo, 2001, hlm. 133
[2] Amin Haedari dkk, Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, Jakarta : IRD PRESS, 2006, hlm. 1-4
[3] Abudin Nata, Op.cit, hlm 133
[4]  Halwani  Michrob dan Mujahid Chudari, Proses Islamisasi di Banten Cuplikan Buku Catatan Masa Lalu Banten, Serang : Ovi Hanif Triana, 2003, hlm 24
[5] Abudin Nata, Op. cit, hlm 134 -135
[6] Alwi Shihab, Islam Sufistik, Bandung : Mizan, 2001, hlm. 171 - 172
[7] Musyriah Sunanto. Sejarah peradaban Islam. Jakarta : Grapindo Persada. 2005. hlm  247 - 248
[8] Sokhi Huda, Tasawuf  Kultural Fenomena Shalawat Wahidiyah, Yogyakarta : LKIS,  2008, hlm. 65 - 67
[9] Abudin Nata, Op. cit,  hlm. 136
[10] Ibid, hlm. 134
[11] Ibid, hlm. 139
[12] Amin Haedari. Op. cit, hlm. 28 - 37
[13] Hanun Asrahah, Op. cit, hlm. 125
[14] Sokhi Huda, Op. cit, hlm. 61 - 63
[15] Mahmud Sujhuti, Politik Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Yogyakarta : Galang Press, 2001, Hlm. 53
[16] Ibid, hlm. 52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar