BAB I
PENDAHULUAN
A Latar Belakang Masalah
Wacana keagamaan islam di Indonesia diwarnai oleh peran
besar pesantren dan para ulama[1]. Dalam kaitan ini
penelusuran asal – usul pesantren merupakan bahasan pokok yang perlu di kaji.
Pasalnya meskipun para peneliti seperti Karel Steebrink, Glifford Geerts, dan lainnya
sepakat bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional asli
Indonesia, namun mereka ternyata mempunyai pandangan yang berbeda mengenai
lahirnya pesantren tersebut. Karena perbedaan pandangan tersebutlah setidaknya
dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama kelompok yang berpendapat bahwa
pesantren adalah hasil kreasi sejarah anak bangsa setelah mengalami persentuhan
budaya pra – islam. Dalam kelompok ini diantaranya adalah Nurcholis Madjid dalam Bilik – bilik pesantren, Zamakhsyari
Dhofier dalam tradisi pesantren: studi
tentang pandangan Kyai. Kedua,
kelompok yang berpendapat bahwa pesantren di adopsi dari lembaga pendidikan
Islam Timur tengah. Dalam kelompok ini adalah Marti van Bruinessen, salah
seorang sarjana Barat.[2] Pada awal abad ke – 20 ini
dapatlah dikatakan bahwa sejarah islam di Indonesia identik dengan sejarah
pesantren dan para kiai / ulama, baik sistem pendidikan, metode yang digunakan
oleh para ulama/ kiai biasanya yaitu dengan cara dakwah, atau pun seperti
strategi perjuangan lainnya dalam mengahadapi segala tantangan.[3] Hal ini bisa dilihat
bagaimana kondisi bangsa Indonesia pada masa pra islam. Khususnya yaitu di
daerah Banten, pada masa kesultanan Banten (1552 - 1570) dalam Babad Banten
diceritakan bahwa Sunan Gunung Jati dan putranya Hasanuddin yang berasal dari
Pakungwati (Cirebon) datang untuk mengislamkan masyarakat di daerah Banten.
Hasanuddin berkeliling sambil berdakwah dari satu daerah ke daerah lain.[4]
Secara historis, lembaga pesantren telah dikenal luas
oleh masyarakat Indonesia. Menurut Nurcholis Madjid bahwasanya pesantren tidak
hanya identik dengan keislamannya saja, melainkan juga mengandung makna
keaslian Indonesia, karena menurutnya lembaga pesantren ini sudah ada semenjak
masa kekuasan Hindu – Budha. Sehingga hal yang tepat apabila para ulama/ kiai
pada masa lampau menggunakan metode dakwah melalui saluran pendidikan. Bukan dengan
jalan perang sehingga proses islamisasi pun berjalan dengan lancar tanpa ada
kekuatan militer meskipun harus dibayar dengan toleransi dan kompromi yang
tinggi.
Eksistensi dalam sebuah
pesantren tentunya tidak dapat terlepas dari apa yang kita sebut dengan kiai. Kiai merupakan tokoh sentral yang
apabila kita soroti sebuah pesantren selalu saja dilihat dan ditelaah dari
perspektif kiai. Padahal seperti yang kita ketahui bahwa kiai bukanlah satu –
satunya elemen yang ada dalam sebuah pesantren. Sehingga dalam pembahasan
inipun tentunya tidak akan terlepas dari kiai. Karena pesantren tidak akan ada
tanpa adanya kiai.[5]
Dalam sebuah pesantren selain adanya elemen kiai juga
terdapat elemen lain yaitu sebuah tarekat. Apakah yang di maksud dengan
tarekat? kata Tarekat sebenarnya bukanlah hal yang asing untuk di dengar,
karena dalam kehidupan sehari – hari pun tentunya kita pernah mendengar kata tarekat. kata tarekat berasal dari
bahasa arab “al - thariq” yang berarti jalan yang ditempuh dengan jalan kaki.
Sedangkan menurut istilah tasawuf, tarekat ialah perjalanan khusus bagi para
sufi yang menempuh jalan menuju Allah Swt. Namun meskipun banyak variasi
tentang kata tarekat, tujuannya tetap satu yaitu suatu tujuan moral yang mulia.
Pada dasarnya antara tarekat satu dengan tarekat lainnya itu tidak ada
perbedaan yang terlalu mencolok. Dapat dikatakan perbedaannya hanya terletak
pada jenis wirid dan zikir serta tata cara pelaksanaanya.
Atau seperti yang di ungkapkan oleh Taufiq Al- Thawil, bahwanya wiridlah yang menentukan
karakteristik setiap tarekat. pertumbuhan tarekat meskipun telah di mulai pada
abad ke -3 dan ke -4 H. Seperti Al – Malamatiyah yang didirikan oleh Hamdun Al –
Qashar, namun tarekat tersebut pada umumnya masih dalam bentuk yang amat
sederhana. Perkembangan dan kemajuan tarekat justru terjadi pada abad ke – 6
dan ke – 7 H, dan yang pertama kali mendirikan tarekat pada abad tersebut
adalah Syekh Abdul Qadir Al – Jailani yakni pada awal abad ke -6 H yang
kemudian disusul dengan tarekat – tarekat lainnya hingga sekarang.[6]
Selanjutnya mengenai banyaknya jumlah pengikut tarekat terjadi
sekitar pada abad ke -18 dan ke -19 Masehi. Pusat penting yang mempengaruhi
perkembangan tarekat di Indonesia mula - mula adalah India (Gujarat) yakni
Hamzah Fansuri, Syamsuddin al - Sumatrani dan Nuruddin al - Raniri yang belajar
hingga mendapatkan ijazah serta
menjadi khalifah. Sufi pertama Indonesia yang karangannya tentang tarekat
sampai kepada kita sekarang adalah Hamzah Fansuri. Dalam bidang sufi ia
mengungkapkan gagasan – gagasan melalui syair, bercorak wahdat al – wujud. Dalam syairnya ia juga bercerita tentang
kunjungannya ke Mekkah, Qudus, Baghdad (dimana ia mengunjungi maqam Abd. Al –
Qadir al - Jailani) dan Ayuthia. Di tempat inilah ia menerima ijazah, dan di bait
lainnya ia juga menyebutkan bahwa ia telah menerima ijazah di Baghdad. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa Hamzah (wafat sekitar 1607) adalah orang
Indonesia asli pertama yang menganut tarekat Qadiriyah. Di Jawa juga terdapat
pengaruh tarekat Qadiriyah. Terutama di Cirebon dan Banten. Terdapat sumber
cerita dari rakyat setempat, bahwa Syekh Abd. al – Qadir al – Jailani pernah datang
ke jawa bahkan mereka masih dapat menunjukkan kuburannya. Adapun petunjuk lain
tentang pengaruh Qadiriyah di Banten yaitu pembacaan kitab Manaqib Abd. Al – Qadir yang
dilakukan pada kesempatan tertentu dalam kehidupan beragama di masyarakat.[7]
Dalam sebuah
organisasi tarekat terdapat sejumlah komponen yang meliputi : a) Guru
tarekat. Dalam sebuah tarekat sufi terdapat seorang guru tarekat atau yang
di sebut dengan Syaikh atau mursyid yang tentunya memiliki peranan
penting dan mutlak. Dapat dikatakan bahwa jika para ulama sebagai pewaris nabi
dalam hal mengajarkan ilmu lahir maka para mursyid tarekat menjadi pewaris nabi
dalam hal mengajarkan penghayatan keagamaan yang bersifat bathin. Jika di lihat
silsilah tarekat maka terlihatlah posisi nabi berada pada puncaknya setelah
Allah dan Jibril. b) Murid atau salik tarekat.
Dalam sebuah organisasi tarekat seorang kandidat salik diisyaratkan harus
berjanji dihadapan mursyidnya. Janji setia itu yang kemudian dikenal dengan baiat.
Dalam kehudupan tarekat ini dikenal dua jenis baiat yaitu bay’ah shwariyah dan bay’ah
manawiyah. c) Amalan atau wirid
tarekat. Salah satu amalan utama yang menjadi inti wirid tarekat ialah
zikir. Semua kelompok tarekat mengajarkan zikir. d) Zawiyah tarekat. Zawiyah adalah majlis tempat para salik
mengamalkan suluk, zikir, dan berbagai wirid lainnya. Seperti membaca manaqib
syaikh abdul Qadir al – Jailani. e) adab
atau etika salik dengan syaikh tarekat. seorang salik dihadapan gurunya
hendaklah bersikap bagaikan mayat yang berada di tangan orang yang
memandikannya.[8]
Mencermati realitas pesantren dewasa ini, ternyata tidak
hanya menawarkan pendidikan agama saja tetapi juga menawarkan pendidikan –
pendidikan lain yang sifatnya lebih modernis. Bisa kita lihat bagaimana
perkembangan dunia pesantren saat ini. Yaitu telah adanya apa yang disebut dengan
pesantren modern. Hal ini menunjukan bahwa pesantren saat ini telah mengalami
modifikasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi menjadi pendidikan pinggiran (
marginal) yang mempunyai lebel “pusat kekolotan”, yang lebih berindikasi pada
sarung dan peci. Dengan melihat realitas seperti itu maka Dhofier
mengklasifikasikan pendidikan pesantren menjadi dua kelompok utama yaitu
pesantren salafi dan khalafi. Dengan demikian pesantren tidak
hanya merupakan lembaga pendidikan yang berlabel ilmu agama belaka, tetapi
sudah mengadopsi dan mengembangkan
ilmu – ilmu lain. Maka dari itu pesantren sudah tidak layak lagi disebut
sebagai lembaga pendidikan yang berada di posisi marginal.[9]
Lembaga pendidikan islam atau yang lebih di kenal dengan
pesantren tentunya sudah melekat di kehidupan masyarakat sosial. Hampir di
setiap daerah terdapat sebuah pesantren seperti yang kita ketahui misalnya
pesantren salafi. Dalam pesantren itu tentunya terdapat serangkaian kegiatan –
kegiatan yang dilakukan oleh kiai dan para santrinya. Apa dan bagaimanakah
kehidupan dalam pesantren itu? Untuk itu
pada pembahasan ini penulis ingin membahas tentang bagaimana peranan pesantren,
kiai, dan tarekat di Banten.
B. Perumusan Masalah
1. Jelaskan
bagaimanakah peranan pesantren di Banten?
2. Bagaimanakah
hubungan antara kyai dan pesantren?
3.
Bagaimanakah hubungan antara pesantren,
kyai, dan tarekat?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui tentang peranan pesantren khususnya yang berkembang di Banten.
2. Untuk mengetahui peranan Kyai dalam sebuah pesantren.
3. Untuk mengetahui keterkaitan antara pesantren, kyai,
dan tarekat.
D. Kerangka Pemikiran
Pesantren
merupakan lembaga pendidikan dan penyiar islam yang tertua di Indonesia.[10] Hampir di setiap daerah
terdapat sebuah pesantren. Dhofier membagi dua kelompok sistem pendidikaan pesantren. Pertama pesantren salafi, yaitu pesantren yang
mengutamakan pengajaran kitab – kitab klasik ( kitab kuning) dan tidak
mengajarkan ilmu – ilmu umum dengan menggunakan sistem khasnya yakni sorogan (individual) dan bandongan (kolektif). Kedua pesantren khalafi yaitu pesantren yang mengajarkan ilmu – ilmu agama disamping
pengajaran ilmu umum, seperti SMP, SMU, dan Universitas. Tetapi meskipun demikian , pengajaran kitab – kitab klasik ( kitab kuning) tetap dipertahankan.[11]
Pada umumnya dalam
sebuah pesantren khususnya pesantren tradisional terdapat lima elemen yaitu :
a) Kyai, menurut Dhofier kata kyai
dalam bahasa jawa dipakai untuk tiga jenis gelar yang berbeda. Pertama sebagai
gelar untuk kehormatan pada barang – barang yang di anggap sakti dan kramat.
Kedua, sebagai gelar kehormatan bagi orang – orang tua pada umumnya. Ketiga, sebagai
gelar yang diberikan oleh masyarakat pada seorang ahli agama islam yang
memiliki atau menjadi pemimpin pesantren. b) Pondok (tempat tinggal para
santri) merupakan ciri khas tradisi pesantren. c) Masjid, menurut M. Quraish Shihab adalah tempat aktifitas manusia
yang mencerminkan kepatuhan kepada Allah Swt. d) Santri, yaitu murid yang belajar di pesantren. Pada umumnya santri
terbagi menjadi dua kategori pertama, santri
mukim yaitu murid yang berasal dari daerah yang jauh dan menetap di
pesantren. kedua, santri kalong yaitu
para siswa yang berasal dari desa – desa di sekitar pesantren. mereka bolak –
balik (ngalajo) dari rumahnya
sendiri. e) pengajaran kitab kuning
yaitu kitab – kitab klasik dan pengajaran kitab
gundul yaitu kitab kuning yang berbahasa arab tanpa harakat.[12]
Selain lima elemen diatas pada sebuah pesantren juga
tentunya tidak terlepas dari sebuah tarekat yang merupakan tradisi pesantren.
Melembaganya sebuah pesantren tidak
dapat dipisahkan dari kegiatan tarekat.[13] Tarekat berarti jalan sebagai makna pokok. Sedangkan menurut
istilah mengandung arti jalan menuju Allah guna mendapatkan ridha- Nya dengan
cara menaati ajaran-Nya. Pada mulanya tarekat hanya berupa jalan tapi pada
tahap kini tarekat dimaknai sebagai organisasi sejumlah orang yang berusaha mengikuti
kehidupan tasawuf. Akibatnya di dunia islam di kenal beberapa tarekat besar
seperti tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah,.[14]
Tarekat Qadiriyah, adalah tarekat yang
dinisbahkan kepada Syekh Abdul Qadir al - Jailani (dari Gilan, di Kurdistan
Selatan, 150 km sebelah timur laut kota Baghdad) yang kemudian wafat di Baghdad
pada tahun 1156 M. Beliau dikenal sebagai qutb
al auliya’ ( kutub para wali) yang menduduki tingkat kewalian yang tertinggi. Beliau adalah
wali terbesar yang diberi wewenang untuk menolong umat manusia yang dalam
bahaya, dakagumi dan dicintai rakyat. Di mana – mana orang membaca Manaqib (riwayat hidup) Syekh Abdul
Qadir Jailani. Tarekat Naqsyabandiyah adalah
tarekat yang di ambil dari nama Bahaudin al Bukhara An Naqsyabandi, lahir di
Bukhara pada tahun 1317 M. wafat tahun 1389 M. Gelar An Naqsyabandi yang berarti
pelukis [15].
Namun selaju
dengan perkembangan zaman kini telah muncul aliran tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah yang merupakan gabungan dari tarekat Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah. Tarekat tersebut di anggap sebagai tarekat baru yang berbeda
dengan kedua tarekat yang merupakan dasarnya.[16]. Dalam sebuah tarekat
terdapat beberapa komponen yaitu mursyid (guru),
salik ( murid ), wirid ( amalan), zawiyah
( majlis) dan adab ( etika ). Dasar –
dasar pemikiran diatas cukup untuk dijadikan acuan dalam studi ini sehingga
dapat mendeskripsikan tentang peranan pesantren, kyai, dan tarekat di Banten.
E. Metodologi Penelitian
Tujuan
studi adalah untuk mencapai penulisan sejarah ( historiografi), maka
upaya merekontruksi masa lampau dari objek yang diteliti, itu ditempuh melalui
metode sejarah. Adapun langkah pertama dari metode sejarah ini yaitu (
Heuristik) dengan cara mengumpulkan suatu data atau sumber dengan menggunakan bahan dokumen,
baik sumber –sumber tertulis maupun wawancara. Namun pada penulisan ini penulis
mengalami kesulitan dalam menemukan sumber – sumber primer tetapi setidaknya
penulis mendapatkan sumber yang cukup valid. Seperti dalam buku karangan Abudin
Nata yang berjudul Akhlak tasawuf dan
Sejarah pertumbuhan dan perkembangan
lembaga – lembaga pendidikan islam di Indonesia. Ahmad Mansyur Suryanegara
yang berjudul Menemukan sejarah wacana
Pergerakan islam di Indonesia. Amin Haedari dkk dalam bukunya yang berjudul
Masa Depan Pesantren Dalam Tantangan
Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global. Hanun Asrahah, dkk. yang
berjudul Pesantren di Jawa.
Langkah kedua yaitu kritik, peneliti
melakukan pengujian atas keaslian dan kesahihan data yang diperoleh melalui
kritik intern dan ekstern. Sehingga peneliti dalam melakukan pengujian memperoleh
data yang valid yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Langkah selanjutunya yaitu
interpretasi dimana peneliti harus malakukan penafsiran data – data berupa fakta – fakta yang telah terkumpul. Langkah
yang terakhir adalah historiografi yang merupakan penulisan sejarah peneliti
mulai melakukan penulisan hasil penelitiannya dengan selalu memperhatikan aspek
– aspek kronologis, sedangkan penyajiannya dilakukan berdasarkan tema – tema dari setiap perkembangan
dari objek tersebut.
F.
Sistematika Penulisan
Penyajian penelitian dalam bentuk proposal penelitian
ini memiliki tiga bagian yaitu pengantar, hasil penelitian, dan kesimpulan.
Adapun bagian pertama merupakan bab
pendahuluan yang mencakup latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, kerangka teoritis, metodologi penelitian, dan sistematika
penelitian.
Bagian kedua hasil penelitian disajikan dalam
empat bab yang merupakan satu kesatuan
yang memiliki keterkaitan antara bab
satu dengan bab berikutnya. Pada bab
kedua pembahasannya mencakup pesantren dalam lintasan sejarah, metodologi
pendidikan di pesantren, dan eksistensi pesantren. Bab ketiga pembasannya mencakup profil kyai dan peranannya di pesantren
dan Masyarakat. Selanjutnya bab keempat
pembahasannya mencakup Pengaruh Tarekat di Pesantren, Kyai dan Tarekat,
dan aliran – aliran tarekat yang berkembang di Banten. Sedangkan bab kelima adalah penutup.
[1]
Abudin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga – Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta : Grasindo, 2001,
hlm. 133
[2]
Amin Haedari dkk, Masa Depan Pesantren
Dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Komplesitas Global, Jakarta : IRD
PRESS, 2006, hlm. 1-4
[3]
Abudin Nata, Op.cit, hlm 133
[4] Halwani
Michrob dan Mujahid Chudari, Proses
Islamisasi di Banten Cuplikan Buku
Catatan Masa Lalu Banten, Serang : Ovi
Hanif Triana, 2003, hlm 24
[5]
Abudin Nata, Op. cit, hlm 134 -135
[6]
Alwi Shihab, Islam Sufistik, Bandung
: Mizan, 2001, hlm. 171 - 172
[7]
Musyriah Sunanto. Sejarah peradaban
Islam. Jakarta : Grapindo Persada. 2005. hlm 247 - 248
[9] Abudin Nata, Op.
cit, hlm. 136
[11] Ibid, hlm. 139
[12] Amin Haedari. Op.
cit, hlm. 28 - 37
[13] Hanun Asrahah, Op.
cit, hlm. 125
[14] Sokhi Huda, Op.
cit, hlm. 61 - 63
[15] Mahmud Sujhuti, Politik
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Yogyakarta : Galang Press, 2001, Hlm.
53
Tidak ada komentar:
Posting Komentar